Senin, 26 April 2010

SENI DAN SEPAKBOLA

Duapuluh enam tahun lalu, tepatnya 7 Juli 1974 kita teringat pada Belanda dengan Total Football-nya. Saat itu sedang berlangsung final piala dunia antara Belanda versus Jerman. Siapa saja yang merasa waras saat itu pasti memilih menjagokan Belanda yang keluar sebagai juara daripada Jerman. Orang Jerman sendiri jika ditanya tanpa memedulikan rasa nasionalisme pastilah akan menjawab hal serupa.

Belanda di bawah otak Michel dan kaki Johan Cruyff adalah sebuah imaji tentang ritme permainan sepakbola. Bagaimana membuat sebuah pola taktik menyerang tanpa perlu khawatir pertahanan menjadi longgar, bahkan sebaliknya, macam apa rasanya memiliki maestro secerdas Cruyff, seperti apa jalannya menyajikan sebuah tontonan atraktif yang mampu membuat lawan dan penonton terkagum-kagum, adalah sederet pertanyaan yang telah tuntas dijawab oleh Belanda. Satu-satunya pertanyaan yang saat itu belum dijawab Belanda adalah: mampu memberikan (gelar) apa Total Football bagi sebuah bangsa bernama Belanda?

Malam itu sebuah jawaban dikeluarkan oleh sang maestro, ketika dua gol dari Paul Breitner dan Gerd Muller memangkas sebiji gol Johan Neskens: "Keindahan akan selalu dikenang, bahkan melebihi kemenangan."

Ya, Belanda kalah 2-1 dari Jerman dan dunia berkata "tidak adil!" Sepanjang turnamen, Belanda yang bermain luar biasa, pun ketika menghadapi Jerman, ternyata harus kalah oleh Jerman yang bermain sangat hati-hati dan cenderung tidak menikmati permainan.

Henk Spaan, pengamat sepakbola terkenal asal Belanda mengatakan bahwa apa yang dikatakan Cruyff setelah kekalahan tersebut adalah sebuah "rasionalisasi atas kekalahan". Selepas kekalahan itu banyak orang mulai menikmati sepakbola tidak melulu dengan menang atau kalah, tetapi lebih cenderung sebagai sebuah seni permainan yang mengutamakan skill ketimbang hasil. Dan sejak saat Cruyff mengeluarkan pernyataan yang sampai sekarang masih diyakininya itu, Belanda mulai menjejaki dunia sepakbola dengan sebuah doktrin: keindahan dan permainan menyerang.

Tetapi, tak banyak orang sependapat tentunya. Terlebih bila pertanyaan apakah "keindahan lebih suci ketimbang kemenangan" ditanyakan kepada para penganut pragmatisme sepakbola macam Fabio Capello atau Jose Mourinho, jawabannya sudah kadung tentu kita tahu: "Tidak!" Kita masih ingat bagaimana "pragmatikrasi" dalam sepakbola ini telah banyak membabat keindahan seni dalam sepakbola. Selain Jerman di Piala Dunia 1974, AC Milan pada Piala Champion 1994 dengan Capello juga melakukan hal yang sama. Milan, yang pada malam puncak Piala Champion saat itu bertemu "Dream Team" Barcelona, di atas kertas dan lewat prediksi seorang profesor bidang sepakbola sekalipun sudah divonis akan kalah, melumat habis Barcelona empat gol tanpa balas. Lalu yang paling teraktual adalah Internazionale Milan, yang pada Rabu 20 April 2009 kemarin sukses menghempaskan Barcelona, sang juara bertahan, dengan skor cukup meyakinkan 3-1.

Pada pertandingan itu Mourinho seakan menjelma menjadi Helenio Herrera, sang arsitek pencetus ide bombastis yang kita kenal dengan sebutan Catenaccio. Pertahanan yang begitu kekar dan tangguh, lini tengah yang padat dan barisan penyerang cerdik juga tangkas, menjadikan Inter malam itu seperti sebuah taifun yang menggulung habis sebuah ladang peternakan domba bernama Barcelona. Kekalahan pada pertandingan fase grup dari Bercelona sebelumnya seperti tak berbekas. Inter layak menang, terlepas dari kepemimpinan wasit yang ditenggarai sebagai biang keladi kekalahan Barcelona . Lalu ramai-ramai orang mengatakan bahwa malam itu adalah kemenangan "seni bertahan".

Sebenarnya apa yang "indah" dan layak dikatakan sebagai "seni"?

Saya ingat Stockhausen, seorang komponis Jerman terkenal, yang tak lama setelah tragedi WTC berujar: "Itulah karya seni terbesar untuk seluruh kosmos." Sejak mengeluarkan pernyataan tersebut ia pun dikecam, karena dianggap melecehkan perasaan keluarga korban dan rakyat Amerika Serikat. Salahkah Stockhausen, bila kita ingat bahwa pada tahun 1911 pelukis Marcel Duchamp pernah mengikutsertakan sebuah sentoran kencing ke dalam sebuah pameran seni rupa di New York ? Sekali lagi, manakah yang bukan "seni" dan layak disebut "seni"?

Diakui atau tidak, ada semacam sebuah otoritas yang begitu punya kuasa dalam penentuan sebuah karya seni. Sebuah karya seni ditopang oleh beberapa hal berikut: institusi dan geografi yang "tepat" dan sebuah fatwa. Katakanlah sebuah kanvas polos berwarna putih yang diletakkan dalam sebuah galeri kesenian ternama yang dipenuhi oleh para mahasiswa jurusan seni, kritikus seni dan seorang kurator johari, yang kompak menyebut bahwa kanvas tersebut mempunyai potensi untuk menyentuh hati tentang "permenungan", "ketiadaan", atau sesuatu yang melambangkan "kesendirian".

Ini menunjukkan ada sebuah institusi di sana (mahasiswa seni, kritikus dan kurator). Ada posisi geografis yang tepat (galeri ternama) dan terdapat fatwa: bahwa kanvas kosong tersebut berpotensi menimbulkan sebuah kesan di hati tiap orang yang melihat. Dengan kata lain, selama sebuah otoritas membaptiskan sesuatu sebagai "seni", maka semua hal dapat dikeramatkan dan masuk dalam wacana kesenian. Begitu sajakah?

Dalam dasar-dasar logika, ada dua buah macam pembenaran yang dipakai untuk menakar persoalan-persoalan dilematis seperti di atas: pembenaran "ontologis" dan pembenaran "epistemologis". Dalam kasus karya seni tadi, pembenaran ontologisnya adalah: "Karena X ada di Tate Moderen, maka X adalah sebuah karya seni." Sedangkan pembenaran epistemologisnya adalah: " Karena X adalah sebuah karya seni, maka X ada di Tate Moderen."

Pembenaran ontologis menganggap bahwa segala macam benda yang dipajang di Tate Moderen adalah sebuah karya seni, sekalipun seonggok daging penuh ulat. Sebaliknya, pembenaran epistomologis masih menyediakan ruang dialog untuk mempersoalkan apakah X merupakan atau kayak disebut karya seni. Sebuah sikap keterbukaan, pertanyaan dan sikap kritis -- termasuk kepada diri sendiri -- memang menjadi semangat utama dalam pembenaran epistemologis. Ini yang tak terdapat sekaligus membedakan dalam pembenaran ontologis.

Sepertinya diperlukan sebuah ruang dialog seperti itulah ketika banyak orang cenderung menganggap Total Football adalah sebuah "seni" dalam permainan sepakbola, sedangkan pragmatisme sepakbola yang mengusung prinsip Catenaccio cenderung haram untuk masuk dalam kategori berkesenian di sepakbola. Ruang dialog seperti ini pula yang sekiranya diperlukan bila Anda ingin percaya bahwa kini saatnya sepakbola bertahan yang menjadi "seni" permainan dalam sepakbola. Terlepas Anda memerlukan ruang dialog itu atau tidak, anda tetap punya otoritas tersendiri untuk memilih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar